Tamparan Pak Salim
Oleh: Muttaqin
Aku tiba di tempat tujuan setelah penerbangan 3 jam, ditambah 30 menit perjalanan dengan bus dari bandara. Turun dari bus, aku tersenyum dan bahagia. Karena perjalanan dari bandara ke tempat seminar sesuai dengan jadwal yang tertera. Tempat berhentinya pun pas di halte kota. Di samping halte itu ada kios buah. Seorang pengemis mampir di toko itu.
Saat melangkah dari bus, aku melihat sebuah tulisan di pintunya, “On time and right place”, sepertinya ini moto perusahaan bus kota ini. Tepat di belakangku, seorang nenek dengan susah payah menyeret bawaannya. Tidak tinggal diam, aku pun berusaha meraih barang bawaannya. “Makasih nak, semoga jodohmu sebaik perbuatanmu.” Aku membalasnya dengan senyum, tentu aku tidak bisa meng-aminkan ucapan nenek, karena aku sudah menikah dan punya dua anak. Memang, aku punya tampang yang lebih muda dari umurku, sedikit baby face. Aku pun tidak heran kalau ada orang yang baru bertemu denganku, lantas mereka mengira aku ini mahasiswa S1 semester 3. He..he.., bukan bermaksud sombong, tapi itu memang fakta.
Si Nenek memberhentikan abang-abang becak setelah melempar senyum manis dan menunjukkan giginya yang ompong ke arahku. Senyum ikhlas itu membuat suasana hatiku semakin nyaman. Entah kenapa, aku senang saja membantu orang lain seperti yang kulakukan pada nenek tadi. Aku pun berjalan sambil menatap nenek yang sedang naik becak. Sedikit terlena, kurang hati-hati, dan… “jeduk…,” jidadku mencium tiang listrik. Aku meraba, memastikan tidak ada benjolan norak yang bisa menjadikan diriku pusat perhatian.
Setelah memastikan tidak ada benjolan norak, aku melangkah mantap. Menyeberangi jalan, menuju hotel sekaligus tempat seminar diselenggarakan. Sebuah spanduk besar tertulis “Selamat Datang Peserta Workshop Pelatihan Menulis Karya Tulis Ilmiah”. Spanduk itu dipampang di depan hotel.
Baru saja aku menyeberangi jalan, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang cukup keras dari arah belakang.
“Saya bilang pergi, ya pergi, ga usah ngeyel!”
Aku berpaling. Suara itu berasal dari toko buah yang berada di samping halte. Tepatnya suara Si Pemilik toko yang belakangan kuketahui namanya Pak Salim. Umurnya 60 tahun. Pelayan hotel yang memberitahuku.
Pak Salim mengusir pengemis yang sejak dari tadi mengiba kepadanya. Sekilas, pengemis itu terlihat masih muda, tubuhnya masih sehat, hanya saja wajahnya memelas dan bajunya compang-camping. Herannya, orang di sekitar itu tidak ada yang peduli dengan pengemis itu. Hatiku pun tergerak, dengan isyarat tangan aku memanggilnya. Ia menyeberangi jalan. Lantas aku memberinya sejumlah uang. Setidaknya cukup untuk makan siang. Setelah itu aku masuk ke hotel dan istirahat. Acara workshop akan dibuka setelah Ashar.
Acara pembukaan berjalan lancar. Menjelang magrib, dari lantai dua jendela hotel aku kembali melihat drama yang sama seperti tadi siang. Kali ini Pak Salim mengusir seorang pengemis yang pincang. Ada rasa iba bercampur marah saat melihat kejadian itu. Aku pun turun dan ‘menceramahi’ Pak Salim yang secara umur lebih tepat jadi orang tuaku itu.
“Pak, bapak tidak kasihan ya sama orang yang lagi susah?” tanyaku dengan nada kesal. Tapi, jangankan menanggapi ceramah singkatku, Pak Salim sedikitpun tidak menatap apalagi beranjak dari tempat duduknya. Ia justru mengusirku dengan isyarat tangan. Lebih heran lagi, seorang pedagang asongan yang ada di sekitar toko itu justru menatapku dengan tatapan sinis.
“Mas, kalau ga tau apa-apa, ga usah ikut campur urusan orang,” ucapnya.
Tak mau berurusan panjang, dan aku juga sadar di sini aku adalah tamu, aku pun kembali ke hotel. Ingin rasanya aku menjawab orang itu, tapi aku lebih memilih untuk menahan diri.
Esoknya, saat istirahat siang, aku melihat Pak Salim meminta pembelinya untuk menukar uang di warung kopi yang jaraknya kurang lebih 200 meter. Ia tidak punya uang kembalian. Alhasil, pembeli itu justru marah-marah dan tidak jadi beli. “Sukurin,” ujarku dalam hati sambil tertawa sinis. Pak Salim tertunduk lesu. Menarik napas dalam- dalam, wajahnya menahan kecewa. Tak lama kemudian berusaha kembali tegar. Satu sisi aku kasihan dengan Pak Salim yang sudah berumur senja, namun mengingat rentetan kejadian ini, hatiku justru jadi bimbang. Hal itu melahirkan rasa penasaran
yang cukup dalam di lubuk hatiku yang kemudian terjawab pada esoknya.
Sore hari acara workshop selesai. Banyak ilmu dan pengalaman berharga dari pembicara yang aku dapatkan. Ini oleh-oleh yang sangat berharga. Karena tidak ada tujuan lain, aku pun bersiap-siap pulang. Tiket pesawat sudah kupesan dan aku lebih memilih menunggu di bandara daripada ketinggalan pesawat.
Sebelum menaiki bus, aku sengaja membeli buah apel di toko Pak Salim dan membayarnya dengan uang kertas seratus ribu. Alhasil, seperti rencanaku, Pak Salim memintaku untuk menukar uang di warung kopi.
“Saya tergesa-gesa, kalau bapak tidak mau menukar sendiri, ya sudah, saya ga jadi beli,” ucapku. Pak Salim mengalah, ia belum memiliki uang kembalian, dan masih saja tidak mau beranjak dari tempat duduknya. Saat itu agak sepi, penjual asongan yang kemarin mampir di situ juga tidak ada. Kalau aku ingat-ingat, sejak pertama aku tiba di sini, aku tidak pernah melihat Pak Salim berdiri meskipun sekadar menyapa pembelinya. Batinku bilang, “kok ada ya penjual yang seperti ini?”
Karena tidak ada kembalian, akupun tidak jadi beli. Bertepatan dengan itu, bus kota yang akan ke bandara datang tepat waktu. Aku masuk dan membiarkan Pak Salim tertunduk lesu seperti kemarin sore. Bus melaju, aku menoleh ke Pak Salim. Ia berdiri. Mencoba beranjak dari ‘singgasananya.’
Ia berdiri dengan susah payah, meraih tongkat yang kemarin ia gunakan untuk mengusir pengemis. Tapi kali ini tongkat itu ia gunakan untuk menopang kaki kanannya. Susah payah ia menutup dagangan dan tirai kios kecil itu sambil menyandang sajadah. Sedetik itu, aku terhenyak dan sadar. Ternyata Pak Salim pincang. Jiwaku tertampar. Dadaku tersentak keras. Otak cerdasku seperti dihantam godam besar yang mematikan nalar logika yang kubanggakan. Aku berusaha beranjak keluar dari bus. Sayang pak supir sudah terlanjur ngegas dan sekaligus ia keberatan untuk berhenti. Sesuai moto, ia dituntut tiba tepat waktu di halte selanjutnya. Aku termenung dan hanya bisa istighfar, maaf Pak Salim, aku salah menilaimu. Bertepatan dengan itu, langit pun menitikkan butiran-butiran tipis yang menusuk bumi. Diiringi azan magrib, penyesalanku sangat dalam. Tepatlah kata pepatah, dont judge the book from the cover.
***
Demikianlah Cerpen Juara 1 dalam LOMBA CIPTA PUISI & CERPEN TINGKAT INTERNASIONAL, yang diselenggarakan oleh: Event Menulis Nasional