Oleh : Wafda Husna Imama
Cut Nyak Dien lahir di Lampadang, Aceh Besar, tahun 1850dan meninggal pada tanggal 6 November 1908. Cut Nyak Dien merupakan putri dari Teuku Nanta Seutia,keturunanDatuk Makhudum Sati,perantau dariMinangkabau, dan jugasalah seorang kepala daerah yang paling berpengaruh di aceh pada saat dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah. Cut Nyak Dien lahir dalam keluarga yang menyandangstatus bangsawan dan dihormati di Aceh. Walaupun ia berasal dari golongan bangsawan namun Cut Nyak Dien tidak pernah membeda-bedakan status sosial orang lain yang ingin dekatdengannyadan dia bersifat terbuka mau menerima siapa saja yang datang kepada dia.
Perjuangan Cut Nyak Dien dalam melawan Belanda dimulai setelah Suaminya Ibrahim Lamnga gugur dalam pertempuran. Dengan gugurnya Ibrahim Lamnga membuat Cut Nyak Dien bergabung dengan pasukan yang berada dibawah pimpinan prajurit kenamaan Panglima Polim yang mendirikan markas di daerah Montasik. Dalam kesatuan inilah Cut Nyak Dien bertemu dengan Teuku Umar, yang kemudian memperistrikan Cut Nyak Dien dengan syarat membawa atau mengizinkan Cut Nyak Dien ikut dalam pertempuran melawan Belanda. Bersama-sama dengan prajurit lainnya, Cik di Tiro, mereka membentuk pasukan dibawah satu komando, setelah itu mereka mampu mencapai kemenangan demi kemenangan melawan Belanda.
Dalam kurun tahun 1891 Teuku Cik di Tiro meninggal, dan perjuangan dilanjutkan oleh Teuku Umar dan didampingi oleh istrinya Cut Nyak Dien. Jalannya perjuangan menghadapi Belanda tampak memberikan harapan ditengah keadaan yang sangat sulit, dimana Teuku Umar dan Cut Nyak Dien mengalami kurangnya persediaan alat persenjataan, bahkan sampai persediaan makananpun habis. Tiba-tiba terjadilah sesuatu peristiwa yang membuat Cut Nyak Dien terpukul karena suaminya Teuku Umar menyerah kepada Belanda. Akan tetapi kerisauan seorang Cut Nyak Dien hilang setelah menyadari bahwa menyerahnya Teuku Umar hanyalah siasat untuk mendapatkan senjata dan amunisi yang diperlukan oleh pasukan Panglima Polim. Setelah pemerintah Hindia Belanda mengetahui bahwa Teuku Umar merupakan seorang penghianat dan harus ditangkap dengan cara dan biaya yang bagaimanapun, hidup atau mati.
Dalam keadaan yang susah dan genting pada saat peperangan Cut Nyak Dien tetap setia disamping mendampingi Teuku Umar dalam pertempuran, walaupun harus berpindah-pindah tempat yang cukup dirasa aman utuk bersembunyi. Pada tahun 1898 Teuku Umar yang melihat keadaan yang semakin gawat dari kejaran tentara Belanda memilih untuk mengungsikan Cut Nyak Dien ketempat yang lebih aman, yang tidak terlihat oleh musuh. Teuku Umar berserta Pasukannya dikepung oleh pasukan Belanda di Meulaboh. Walaupun terkepung oleh pasukan Belanda, semangat pantang menyerah Teuku Umar dan Pasukan sampai titik darah penghabisan dan dalam pertempuran tersebut Teuku Umar gugur.
Akan tetapi, semangat berperang sabilullah ternyata sudah mulai padam di kalangan rakyat Aceh. Hal ini disebabkan oleh, Jenderal van Heutsz tidak memberi kesempatan pada para pejuang Aceh untuk beristirahat dan disertai dengan tindakan tentara Belanda yang terus membakar, mengahncurkan, dan membasmi orang Aceh. Akibat tindakan tersebut banyak tokoh pejuang Aceh yang gugur dan menyerah tunduk pada Belanda. Akhirnya Cut Nyak Dien ditahan oleh pemerintah Belanda pada tanggal 6 November 1905 di tempat persembunyian Cut Nyak Dien di dalam hutan terpencil. Setelah ditangkap Cut Nyak Dien dibuang atau diasingkan ke daerah Sumedang, Jawa Barat.
Dengan dibuangnya Cut Nyak Dien ke Sumedang dalam tahun 1905, semangat perang yang di warisi Cut Nyak Dien ke rakyat Aceh tidak pernah pudar. Sampai tahun 1913 perang-perang kecil masih terjadi di daerah Aceh, akan tetapi sebagian besar wilayah Aceh sudah dikuasai oleh Belanda Sepenuhnya.